Jika ada seratus pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika ada sepuluh pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika hanya ada satu pejuang kebenaran, Aku pastikan akulah orangnya

Selasa, 09 Februari 2010

Tanggulangi Budaya Mengemis Dengan Menerapkan Syari’at Islam

Kejadian siang kemarin (senin) membuat penulis terpikir untuk menceritakan pengalamannya. Kebetulan siang itu penulis sedang mampir ke rumah temannya di Jalan Kelayan B untuk membicarakan beberapa hal. Di sela-sela pembicaraan ternyata ada seorang pengemis lewat dengan menggendong balita di pundaknya, tak berselang lama lewat lagi seorang kakek yang sudah terlihat lemah menadahkan tangannya kepada penjual es campur yang ada di depan rumah teman penulis. Dan kali ini penulis agak takjub karena beberapa menit kemudian muncul lagi seorang kakek yang juga berprofesi sebagai penadah belas kasihan orang lain.

Coba kita perhitungkan bersama, di satu lokasi saja dalam hitungan waktu yang tak berselang lama terdapat tiga orang pengemis yang berbeda. Apalagi jika kita jumlahkan dengan pengemis yang ada di lokasi lain, pastinya akan kita dapati perhitungan yang sangat mencengangkan. Apalagi saat perayaan hari-hari besar Islam maupun non, mereka rame-rame mengidentitaskan diri mereka sebagai pengemis, seolah-olah tak ada kata malu lagi dalam kamus hidup mereka.

Ironis memang, tetapi itulah fakta yang tampak di kota seribu sungai, salah satu kota besar yang ada negeri mayoritas muslim dan terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah ini. Dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa kebanyakan dari mereka (pengemis) itu adalah beragama Islam. Padahal Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan ummatnya untuk meminta-minta, bahkan sebaliknya Islam mengecam dengan mengabarkan siksa yang akan diterima di akhirat kelak bagi orang yang suka meminta-minta.

Satu lagi yang membuat kita miris, bahwa di zaman sekarang mengemis ternyata tidak hanya dilakoni oleh kaum dhu’afa, namun kalangan berada pun turut ambil bagian menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian mereka. Na’udzubillahi min dzalik.

Penghasilan yang cukup memuaskan itu membuat mereka ketagihan, dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Berdasarkan cerita pengalaman dosen penulis, ketika beliau mencoba menanyakan penghasilan pengemis yang saat itu berada dalam satu angkutan umum dengan beliau, pengemis itu tak pikir panjang langsung menyampaikan pendapatan perharinya yakni sekitar tujuh puluh ribu rupiah. Jika kita kalikan 30 hari, maka penghasilan pengemis itu bisa setara dengan gaji seorang PNS golongan menengah setiap bulannya.

Sangat wajar ketika kondisi memprihatinkan ini juga terjadi di kota lain di Indonesia, MUI daerah setempat tak segan-segan menetapkan fatwa haram meminta-minta dan memberlakukan denda bagi yang memberinya. Akankah fatwa ini juga muncul di banua kita?!

Dimunculkan atau tidak. Yang jelas, bagi penulis langkah tersebut bukanlah solusi. Andai sedikit saja pemerintah mau membuka mata hati mereka, bahwa kondisi memprihatinkan itu merupakan koreksi atas pelayanannya kepada rakyat selama ini, maka pemerintah akan sadar bahwa menyalahkan ataupun memberantas para pengemis adalah langkah yang keliru.

Sebab secara tak sadar merekalah yang telah mendidik rakyat seperti itu, akibat kebijakan liberal mereka, jumlah rakyat miskin pun semakin meningkat. Banyak BUMN kita yang sudah diswastanisasi, dikuasai para kapitalis (asing), sementara rakyat hanya mendapatkan ampas (baca: limbah ataupun gas beracun dari perusahaan swasta). Padahal sumber daya alam tersebut seharusnya dikelola oleh negara sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Belum lagi, maraknya budaya korupsi. koruptor tak ubahnya seorang perampok, sehingga statusnya pun bisa kita katakan jauh lebih rendah dari seorang pengemis.

Pemerintah yang diharapkan menjadi uswatun hasanah dan pendidik rakyat, malah berlaku sebaliknya. Bahkan sepertinya harapan itu sama sekali tidak akan terwujud jika negeri ini tetap dan masih saja mengadopsi sistem kapitalisme-sekulerisme, yang terbukti memberikan peluang lebar kepada kita semua untuk melakukan maksiat secara sadar maupun tidak. Maka satu-satunya harapan adalah diterapkannya Syari’at Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Khalifah akan melindungi Kekayaan Negara dari imperialisme asing, serta berusaha menjadi uswatun hasanah dan terus-menerus menempa keimanan ummat melalui berbagai cara. Niscaya kesejahteraan ummat manusia layaknya zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz dulu bisa terwujud kembali, juga terpatrinya dengan kuat keimanan kaum muslimin menjadikan mereka tak rela menggadaikannya demi materi ataupun yang sejenisnya. Wallohu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar