Jika ada seratus pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika ada sepuluh pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika hanya ada satu pejuang kebenaran, Aku pastikan akulah orangnya

Kamis, 06 Mei 2010

Posisi Sri Mulyani ke Bank Dunia upaya konspirasi internasional

Jakarta - Ketua Pengurus Besar Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Adien Jaurudin, menilai pengangkatan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai salah satu Direktur Bank Dunia adalah upaya konspirasi internasional untuk menyelamatkan Sri Mulyani dari Kasus Bank Century.

"Diangkat Sri Mulyani menjadi Direktur Bank Dunia ada konspirasi internasional untuk menyelamatkan dari kasus Century dan timbal balik keberhasilan SM menancapkan ekonomi liberalisme di Indonesia," katanya kepada primaironline.com, di Jakarta, Rabu (5/5).

Menurutnya, dengan jeda waktu 20 hari, pengangkatan Sri Mulyani menjadi Direktur Bank Dunia, KPK harus segera mempercepat proses pemeriksaan dan menetapkan Sri Mulyani sebagai tersangka. Mengingat jika Sri Mulyani sudah aktif di kantor Pusat Bank Dunia Swiss, maka kemungkinan sulit untuk melakukan pemanggilan oleh jika ada temuan baru pemeriksaan Sri Mulyani tersebut.

"KPK segera menetapkan Sri Mulyani ditetapkan sebagai tersangka," ujarnya.

Dirinya juga mengatakan, untuk mempercepat proses terhadap kasus Century, langkah strategis kedepan sebelum aktifnya Sri Mulyani pada 1 Juni 2010 di Bank Dunia, para elemen dan unsur bangsa diminta untuk melakukan tekanan-tekanan kepada KPK.

PENDIDIKAN ISLAM Mencetak Pribadi Unggul

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kondisi pendidikan di negeri kita saat ini babak belur. Dari sisi SDM misalnya, yang dihasilkan oleh pendidikan kita jauh dari harapan. Saat ini, hampir di seluruh kota-kota besar tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan perilaku rusak lainnya seolah-olah menjadi ‘teman karib’ para pelajar sekarang. Kepribadian mereka kacau; tidak tersentuh sama sekali nilai-nilai Islam. Memang, ada pelajar-pelajar yang berprestasi dan berkepribadian tangguh, namun jumlah mereka tidak sebanyak pelajar yang ‘bermasalah’.
Di tingkat lulusan sarjana, saat ini jumlah penganggurannya sudah diambang angka yang mengkhawatirkan. Jika ini terjadi maka problem sosial baru akan bermunculan. Jika ditanya, apa penyebab utama dari carut-marutnya pendidikan di negeri ini, maka penyebabnya bersifat sistemik, yakni karena diterapkannya sistem pendidikan sekular, dan dicampakkannya sistem pendidikan Islam.

Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir ('aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
(1) Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai 'aqîdah 'aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
(2) Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
(3) Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
(1) Ilmu yang termasuk fardhu 'ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
(2) Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.

Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.

Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha' yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.

Khatimah
Wahai kaum Muslim, apakah sistem pendidikan sekuler yang rusak saat ini akan terus kita pertahankan? Marilah kita bergegas membangun sistem pendidikan Islam, yang akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam. Generasi yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Kartini Bukan 'Pejuang Jender'

Aktivis perempuan sudah menobatkan R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Dia digambarkan sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Pada bulan April tokoh ini kembali diangkat sembari terus mendorong perempuan Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi oleh pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun bergegas mencari peluang karir setinggi-tingginya, tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Benarkah semua ini sejalan dengan perjuangan Kartini?
Agaknya kesimpulan ini terlalu terburu-buru. Mengenal Kartini salah satunya dengan membaca buku kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Negeri Belanda. Dalam buku ini tampak bahwa Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat di lingkungannya. Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga tidak seharusnya adat-istiadat membedakan berdasarkan asal-usul keturunannya. Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah sedikit mengenal Islam, Kartini justru mengkritik peradaban masyarakat Eropa dan menyebutnya sebagai kehidupan yang tidak layak disebut sebagai peradaban.
Dalam suratnya Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda memperhatikan nasib pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan. Ia mengungkap hal yang sama kepada sahabat-sahabatnya, terutama pendidikan bagi kaum perempuan. Hal ini karena perempuanlah yang membentuk budi pekerti anak. Berulang-ulang Kartini menyebut perempuan adalah istri dan pendidik anak yang pertama-tama. Dia memaksudkan keinginannya mengusahakan pendidikan dan pengajaran agar perempuan lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya dan tidak bermaksud menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan laki-laki. Tidak ada keinginan Kartini untuk mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan perannya dalam rumah tangga. Bahkan ketika ia menikah dengan seorang duda yang memiliki banyak anak, Kartini sangat menikmati tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak suaminya. Inilah yang membuat Stella, sahabatnya, heran mengapa Kartini rela menikah dan menjalani kehidupan rumah tangganya.
Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya, dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas apa yang diperjuangkan aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah Kartini telah disalahgunakan sesuai dengan kepentingan mereka. Kaum Muslim telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan dan kesetaraan jender.
Jadi, kaum Muslimah saat ini harus kembali pada Islam, menjalankan tugasnya sebagai ibu dan istri sekaligus menyadarkan Muslimah yang lain agar tidak tertipu ide jender yang sejatinya merendahkan martabat mereka, membahayakan generasinya serta menjauhkan dari agamanya.

MUKTAMAR MUBALLIGHAH INDONESIA 1431 H


Jakarta, 6 Jumadil Awal 1431 H/21 April 2010

بسم الله الرحمن الرحيم

إ “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (TQS Al Baqarah [2]: 257)

Hingga hari ini Indonesia masih diliputi kehidupan yang suram; hidup dalam sistem kapitalisme sekular yang jauh dari cahaya Islam, diselimuti krisis multidimensi tanpa ada ketuntasan solusi. Kemurnian aqidah Islam terancam dengan fenomena aliran sesat yang merajalela dan aktifitas penistaan agama tidak ditindak tegas karena alasan HAM. Sementara itu, perempuan yang seharusnya menjadi pilar baik buruknya negara telah ditempatkan sebagai komoditas, jauh dari kemuliaan yang telah dilekatkan syariat Islam pada dirinya. Umat Islam pun kehilangan harapan lahirnya generasi cahaya mata (qurrata a’yun) akibat derasnya arus liberalisasi kehidupan. Pendidikan dalam keluarga semakin lemah karena kaum ibu tidak memiliki bekal untuk menjadi madrasah ula bagi anak-anaknya. Rumah tangga diliputi keguncangan karena banyak perempuan yang terseret arus Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Keluarga sebagai benteng terakhir pelaksanaan hukum-hukum Islam pun terancam hancur, menyusul dicampakkannya hukum-hukum Islam yang mengatur pemerintahan, politik, ekonomi, tata pergaulan, dan pengaturan kehidupan publik yang lain. Kegelapan kehidupan sekuler ini harus segera dihilangkan oleh gemilangnya cahaya Islam karena penerapan syariah secara kaaffah di bawah tatanan khilafah.

Gemilangnya cahaya Islam tidak bisa direalisasikan apabila petunjuk Islam tidak disampaikan oleh para penyampai pesan yang ikhlas dan amanah. Sosok yang memahami kemuliaan cahaya Islam dan tak kenal lelah mendidik umat untuk memahami cahaya petunjuk tersebut. Sosok yang menghayati aktivitas penyampaian Islam sebagai aktivitas paling mulia diantara berbagai aktivitas yang lain. Merekalah para muballighah. Tanpa peran mereka maka umat akan semakin jauh dari cahaya dan terperosok ke dalam kegelapan selamanya.

Memahami peran vital muballighah tersebut, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan Muktamar Muballighah Indonesia (MMI) di Istora Senayan Jakarta dihadiri oleh 6000 muballighah, ustadzah, dan pengelola majelis taklim dari 138 kota di 18 provinsi Indonesia. Tujuan utama dari MMI adalah meneguhkan komitmen para muballighah dalam perjuangan penegakan syariah dan khilafah.

Para muballighah menyampaikan pesan utama urgensi penegakan khilafah dan keagungan amalan ini sebagai aktivitas utama dakwah Rasulullah SAW yang diwajibkan dan layak diteladani oleh setiap muslim termasuk kaum muslimah. Aktivitas yang akan membebaskan umat termasuk kaum perempuan dari kegelapan menuju cahaya kehidupan.

Sementara kabar gembira segera terbitnya cahaya Islam dengan tegaknya khilafah telah disampaikan oleh Allah SWT :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (TQS. An-Nuur [24]: 55)

Saat itu menjadi nyata kabar gembira Rasulullah SAW dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ «ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

“Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR Ahmad)

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ بِنَصْرِ اللَّهِ يَنصُرُ مَن يَشَاء وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

“Dan pada hari (kemenangan) itu, bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa saja yang dikehendaki. Dan Dia-lah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (TQS. Ar-Rum [30]: 4-5)

Muktamar Muballighah Indonesia diakhiri dengan penandatanganan secara simbolis Amanah lil Muballighah oleh perwakilan para muballighah dari berbagai daerah. Amanah lil muballighah itu intinya berisi 6 poin, yakni :

1. Kesadaran bahwa sesungguhnya saat ini umat Islam seluruh dunia dan Indonesia khususnya tengah menghadapi berbagai persoalan baik ekonomi, politik, sosial budaya maupun tsaqofah. Seluruh persoalan tersebut menjadikan umat Islam tidak lagi mampu menunjukkan dirinya sebagai khairu ummat, dan nyata-nyata telah menghancurkan keluarga sebagai benteng pertahanan terakhir umat dan juga menghancurkan generasi.

2. Memahami bahwa pangkal persoalan ini adalah tidak diterapkannya Islam di muka bumi. Dan bahwa sekularisme telah terbukti nyata menghancurkan keluarga dan bangsa serta generasi penerus. Dan oleh sebab itu, menerapkan syari’ah Islam Kaaffah dalam bingkai negara Khilafah Islam adalah solusi mutlak. Ia merupakan kewajiban yang agung dan berjuang untuk menegakkannya kembali adalah kewajiban setiap muslim. Dan dengan tegaknya khilafah yang dipimpin seorang khalifah, kehidupan umat akan terlindungi dari berbagai serangan dan gangguan.

3. Membenarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ وَالْمُؤمِنوْنَ وَالمُؤمِنٰتُ بَعْضُهمْ اولياءُ بعْضٍِ، يأمُرُونَ بالمَعْرُوفِ و ينهوْنَ عَنِ المُنكرِ وَ يُقيمُونَ الصلاةَ وَيؤْتونَ الزكوٰةَ ويُطيْعونَ اللّهَ وَرَسولَهُ ألئكَ سَيَرْحَمُهُمٌ اللّهُ ، إنَّ اللهَ عَزِيْزٌُ حَكيْمٌُ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS: Attaubah :71)

Untuk itu para muballighah akan berupaya sungguh-sungguh mengoptimalkan potensi dan kedudukan yang dimiliki sebagai pembina umat khususnya muslimah dalam rangka penegakkan khilafah.

4. Visi pembinaan muballighah adalah: “Menjadi perempuan unggul sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) yang melahirkan generasi cerdas taqwa pejuang syariah dan khilafah serta sebagai mitra laki-laki dalam membangun masyarakat Islam. Sementara misi muballighah adalah: (a). Mengokohkan ketahanan dan kesakinahan keluarga Muslim, (b). Melahirkan generasi berkualitas pejuang, (c). Membangun muslimah berkarakter kuat dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, (d). Membina perempuan sebagai mitra laki-laki dalam rumah tangga dan perjuangan di masyarakat.

5. Karena itu, perjuangan bagi penegakan syariah dan khilafah adalah mutlak adanya karena merupakan satu-satunya jalan menuju terwujudnya kembali izzul Islam wal muslimin dimana seluruh problematika umat dapat diatasi dengan cara yang benar, sehingga visi dan misi muballigah dapat terwujud.

6. Para muballighah mendukung penuh upaya yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, termasuk Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia didalamnya, yang senantiasa sungguh-sungguh berjuang dalam menegakkan khilafah.

Jurubicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Febrianti Abassuni