Jika ada seratus pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika ada sepuluh pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika hanya ada satu pejuang kebenaran, Aku pastikan akulah orangnya

Rabu, 27 Mei 2009

Hidup Tanpa Khilafah, Seperti Keledai


“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.” (TQS. Al-Jumu’ah : 5)

Kita dianggap keledai? Demikianlah apa adanya gambaran Allah SWT yang menyamakan kita manusia –yang sebaik-baik bentuk ini- dengan keledai, hewan yang sering digambarkan sebagai hewan dungu. Kalau Allah SWT menggunakan kata-kata keledai, tentu saja kita harus berpikir keras dan merenung kenapa? Dalam ayat diatas, kata-kata seperti keledai yang membawa buku-buku tebal, ditujukan kepada manusia yang sudah diberikan pedoman hidup yakni Taurat tapi tidak melaksanakannya. Sama seperti umat Islam yang sudah diberikan oleh Allah SWT al-Qur’an tapi tidak mau melaksanakannya dan mengamalkannya.

Ya, mari sama-sama kita akui, betapa banyak isi al-Qur’an yang tidak kita laksanakan. Dalam hukum-hukum yang sifatnya ritual-individual saja, banyak diantara kita yang lalai, seperti shalat, puasa, dan lain-lain. apalagi dalam aspek mu’amalah. Hampir sebagian besar hukum-hukum yang ada di al-Qur’an tidak dilaksanakan lagi. Ekonomi kita, mengadopsi sistem kapitalis. Cirinya, bank ribawi bertebaran dimana-mana. Kita juga pinjam hutang (atau dipaksa ngutang) ke IMF, tentu saja dengan riba. Privatisasi menjadi kebijakan utama negara. Aset-aset Negara dijual, atas nama privatisasi. Tidak peduli air, minyak, listrik yang sebenarnya merupakan pemilikan rakyat (milkiyah ‘amah) dijual habis. Politik kita, meniru sepenuhnya sistem politik kapitalisme-sekuler, yakni sistem demokrasi. Dalam sistem ini, kebenaran ditentukan oleh banyak orang, atas nama suara rakyat. Sementara hukum Allah berupa syariah Islam, ditinggalkan.

Banyak sekali hukum-hukum Allah tidak dilaksanakan, padahal hal tersebut jelas ada di dalam al-Qur’an. Kitab suci yang diperjuangkan Rasulullah dan sahabat ini, kita tinggalkan. Meskipun kita masih mengakui al-Qur’an sebagai kitab suci kita. Jadi kita seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.

Hukum-hukum Islam hanya ada di al-Qur’an yang disimpan rapi di lemari kita. Kitab-kitab fiqih di perpustakaan, tidak diamalkan. Padahal kita mengatakan al-Qur’an merupakan pedoman hidup kita. Apa pengaruhnya kalau pedoman hidup kalau tidak diamalkan. Apa pengaruhnya lampu lalu lintas kalau tidak dipatuhi? Apa artinya larangan dokter kepada pasiennya kalau tidak dilaksanakan?

Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah saw, terjadi pada umatnya. Sebagaimana firman Allah SWT: “Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (TQS. Al-Furqan : 30)

Apa penyebab utamanya? Jawabannya, kita tidak memiliki sistem negara lagi, yang disebut Daulah Khilafah Islam, yang menerapkan hukum Islam. Negara kita adalah negara sekuler yang justru menolak hukum Islam dengan alasan jangan bawa agama ke sektor publik. Ide sehebat apapun kalau tidak ada institusi negara yang menerapkan, akan jadi ide khayal. Ide-ide komunis misalnya, membutuhkan negara untuk diterapkan di masyarakat, yakni negara sosialis-komunis. Ide-ide kapitalis yang demikian canggih, juga tentu butuh negara kapitalis untuk menerapkannya.

Sama halnya dengan hukum-hukum Islam yang ada di al-Qur’an, tentu butuh negara untuk menerapkannya. Itulah negara Khilafah Islam yang berawal dari Daulah Islam di Madinah, dilanjutkan oleh para Khulafa ur-Rasyidin, hingga berakhir tahun 1924. Diruntuhkan oleh agen Inggris, Mustafa Kemal Pasha At-Taturk (la’natullah ‘alaih). Karenanya agar tidak jadi keledai kita butuh kembali sistem Islam di bawah naungan daulah khilafah rasyidah ‘ala minhajin Nubuwwah. Sebab, hanya dengan Khilafah lah Syariat Islam bisa kita terapkan secara kaffah (sempurna) dalam segala lini kehidupan.

Saudaraku, mari kita rapatkan barisan, satukan langkah, berjuang bersama demi menegakkan panji Islam yang telah sekian lama kita nantikan. Takbir!!! Allahu Akbar!!!

(dikutip dari buku “Renungan Hidup Mantan Rocker Harry Moekti”)

Jumat, 08 Mei 2009

Ada Apa Dengan Diriku?


Belakangan ini, bisa dibilang aku sedang sibuk-sibuknya memikirkan nasib diriku, hingga tak sempat lagi mengurus yang lain, apatah lagi menulis.

Ku rasa, aku tak lebih dari seorang pecundang yang bermimpi menjadi seorang pejuang. Berbagai rencana dan tujuan yang telah tertuang dalam asa, begitu sulit untuk ku realisasikan. Berbagai komitmen yang keluar dari lisan maupun tulisan juga tak membuat diriku resah jika tak melakukan.

Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan diriku? Begitu sulitnya kah ia untuk ku taklukkan? Begitu lemahnya kah aku hingga tak bisa mengalahkan?

Aku pernah dan bahkan sering mendengar, kata orang-orang, musuh terbesar dalam hidup kita adalah diri kita sendiri. Tanpa pikir panjang, perkataan itu langsung aku benarkan. Tapi suatu ketika, aku mencoba untuk benar-benar memikirkannya, membuktikan keobjektifan perkataan tersebut. Dan akhirnya aku mendapatkan jawaban, paling tidak jawaban itu bisa memuaskan diriku sendiri. Manusia memang mempunyai musuh besar, tetapi musuh besar itu bukanlah dirinya sendiri, melainkan Syaithan terkutuk yang senantiasa bersarang di setiap aliran darahnya, di sela-sela urat nadinya, dan dimana saja di dalam tubuhnya.

Tuhan, tak ada yang lain yang lebih mengerti dan memahami setiap kehendak ku terkecuali Engkau. Aku ingin kau menunjuki ku jalan yang terbaik, serta menumbuhkan kesungguhan dan kemauan yang kuat dalam diriku, hingga aku mampu menaklukkan makhluk terkutuk yang hina itu.

Jikalau sarang-sarang setan sudah menjauh dari dalam diriku, jikalau ketaqwaan kepada-Mu senantiasa mewarnai setiap detik kehidupanku, jikalau Rasulullah sudah menjadi panutan utamaku. Maka aku yakin, tak akan ada lagi istilah pecundang dalam kehidupanku. Bahkan aku yakin, kesuksesan akan dengan mudah berada dalam genggamanku.