Jika ada seratus pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika ada sepuluh pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika hanya ada satu pejuang kebenaran, Aku pastikan akulah orangnya

Rabu, 20 Januari 2010

Tebarlah Cinta pada Orang yang Tepat!

(sebuah Nama, sebuah Cerita, cerita fiksi oleh Najima Fitria)

Sebuah mata yang menyiratkan kekuatan,
Sebuah wajah yang tergores keberanian,
Sebuah nama yang selalu terlintas di pikiran,
Itulah engkau wahai sang pangeran…

Ocehanmu membuat pedas telinga si zhalimin,
Namun terasa manis oleh kami saudara-saudaramu,
Gerakanmu membuat musuh semakin geram,
Namun itulah yang membuat aku semakin mencintaimu…

Senyummu adalah bahagiaku,
Tangismu adalah sedihku,
Walaupun engkau tak mencintaiku,
Namun mengenalmu adalah hal terindah dalam hidupku…

Untukmu yang biasa dipanggil………..

“Vivi…!!!” (teriakan ibu membuat Vivi spontan meletakkan pena dan langsung berlari menghampiri ibunya)
“iya bu, ada apa?” Tanya Vivi agak sinis (soalnya ibu telah mengganggu konsentrasi Vivi yang sedang asyik menulis puisi)
“ada apa, ada apa!!!, harusnya ibu yang bertanya sama kamu, kamu sudah shalat Ashar belum? Tuh lihat! Sudah hampir pukul 18.00.” (tegas ibu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke jam dinding)
“Astaghfirullah… Vivi lupa bu.” jawab Vivi (seraya tergesa berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu)
Setelah selesai berwudhu, Vivi langsung menuju kamarnya untuk menunaikan shalat. Walaupun sering terlambat, Vivi tidak pernah melalaikan kekhusyukannya. Ia senantiasa berdoa di lepas shalatnya dengan menghiba yang sangat kepada Robbul izzati, tak lupa ia menyisipkan doa untuk saudara-saudari seiman dan seperjuangannya. Dan, usai menunaikan shalat ashar kali ini, ia langsung menemui ibunya yang sedang asyik merajut shall untuk sekedar ngobrol.
“bu..” sapa Vivi (sambil tersipu malu-malu)
“iya sayang, ada apa?” Tanya ibu (dengan suara lembut khas keibuannya)
“ibu pasti pernah kan merasakan yang namanya jatuh cinta? Itu fitrah kan bu? gimana rasanya bu? manis, asem, asin atau pahit? Dan, waktu itu… siapa first love-nya ibu? Ayah? Bu, ceritain dong bu!!!” pinta Vivi (walau terkesan agak memaksa, tapi ibu tetap menaggapi sejubel pertanyaan Vivi dengan senyuman)
“Vivi sayang, apa yang kamu katakan itu sama sekali tidak salah. Cinta adalah anugerah terindah dan jatuh cinta adalah fitrah. Cinta bukanlah permainan kata ataupun perasaan. Cinta adalah sebuah kesungguhan yang terangkai oleh keberanian untuk berkomitmen dalam satu ikatan pernikahan. Dan setelah itulah, hakikat cinta akan terasa. Rasa manis tetap mendominasi, walau terkadang bumbu asin, pedas dan pahit itu menerpa, karena dasar cinta adalah keimanan, bukan nafsu syahwat yang berasal dari syaithan.” Terang ibu kepada Vivi.
“Ooohh… begitu?! Trus…?? Potong Vivi (seraya masih fokus menunggu penjelasan dari ibunya)
“Dan satu hal yang harus kamu ketahui sayang, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk melestarikan keturunan, sebagai konsekwensi keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan untuk atau karena yang lainnya. Rasulullah juga telah memerintahkan kepada kita untuk mengutamakan melihat agamanya ketika memilih pasangan. Dan ingat, ketika akad telah terucap, jalinan persahabatanlah yang akan mengikat dua insan itu, bukan seperti antara majikan dan babu. Sehingga keduanya saling melengkapi, membantu, dan bekerja sama dalam setiap aktivitas.”
“Subhanallah… indah betul ya bu! Vivi jadi ingin cepet-cepat menjalaninya bu. hehehe…” celoteh Vivi (sambil tersenyam senyum mendekat duduk persis di samping ibunya)
“Sssttt… kamu tidak boleh terburu-buru melafazhkan itu sayang. Walaupun niatmu baik, membangun konstitusi pernikahan bukanlah hal yang mudah dan remeh. Sebab, tanpa kematangan dan ilmu yang cukup, kamu tidak akan mampu menggapai keindahan dan rasa manis seperti yang ibu gambarkan tadi.” Terang ibu kembali.
“Oh begitu ya bu?! tapi ntar, ibu ajarin Vivi ya!” pinta Vivi (seraya memelas sambil menggandeng bahu ibunya layaknya sepasang sahabat)
“iya sayang, ibu akan senantiasa membimbing Vivi untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Oleh karenanya, ibu juga mau memuhasabahi Vivi.” Tegas ibu (sambil menatap tajam ke arah Vivi)
“apa itu bu?” Tanya Vivi balik (dengan wajah lugunya yang tak merasa bersalah)
“Hmm… kamu kan pengemban dakwah, kamu juga seorang mujahidah, kamu ingin jadi uswatun hasanah kan? Karena itu, perbaikilah dulu perilakumu, dan yang paling utama adalah, jangan sering kau tunda shalatmu!” tegas ibu lagi.
“Okkey deh bu, Vivi janji akan menjadikan diri Vivi lebih baik lagi, juga menjaga shalat Vivi tepat pada waktunya.” Balas Vivi (dengan wajah penuh tekad dan kesungguhan)
“Assalamu’alaykum” panggil ayah (terdengar dari balik pintu utama)
“Wa’alaykumusssalam warohmatullah!” sahut ibu dan Vivi (yang baru saja menyelesaikan obrolan mereka)
“Ayah sudah pulang vi, itu artinya waktu untuk shalat maghrib sebentar lagi tiba. Ayo gih, sana kamu siap-siap duluan ambil air wudhu, biar nanti kita bisa shalat berjamaah dengan ayah.” Pinta ibu (sambil berjalan menuju pintu utama untuk menyambut kedatangan ayah pulang bekerja)
------------------------------------------------------
Janji Vivi untuk menjadi lebih baik benar-benar ia realisasikan. Dan akhirnya cita-cita itupun tercapai. Ia hidup bahagia bersama sang pangeran yang ternyata belum pernah ia kenal betul sebelumnya. Ia pun sadar, bahwa jatuh cinta itu tak harus ada sebelum terjalinnya ikatan pernikahan. Sebab, cinta bukanlah permainan yang bisa kita umbar ke sembarang orang, melainkan sebuah kesungguhan yang harus kita tebar pada orang yang tepat, yaitu orang yang sudah menjadi kekasih halal kita.
--------------------------------------------------------