Jika ada seratus pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika ada sepuluh pejuang kebenaran, Aku salah satunya, Jika hanya ada satu pejuang kebenaran, Aku pastikan akulah orangnya

Sabtu, 24 Oktober 2009

KEMERDEKAAN SEMU DALAM BINGKAI DEMOKRASI


Sudah 64 tahun Indonesia dikatakan merdeka. Akan tetapi, benarkah Indonesia sudah meraih kemerdekaan yang sesungguhnya? Sudahkah tujuan kemerdekaan diantaranya kemandirian dan kesejahteraan berhasil diwujudkan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita perlu mengetahui terlebih dahulu makna dari kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan sering ditafsirkan orang dengan terbebasnya manusia dari penindasan-penindasan dan aturan-aturan yang mengungkungnya. Dengan kata lain, kemerdekaan adalah kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa ada tekanan maupun campur tangan pihak-pihak lain. Orang merdeka adalah orang yang telah berdaulat sepenuhnya terhadap dirinya sendiri. Negara merdeka adalah negara yang memiliki kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri (Prof. Miriam Budiardjo, 1995). Dalam tulisan lain dikatakan bahwa, inti dari kemerdekaan adalah tauhid. Dengan demikian untuk menilai sejauh mana seseorang, masyarakat, atau suatu negara telah merdeka, maka harus dilihat sejauh mana mereka masih diperbudak oleh aturan, norma, adat-istiadat yang bukan dari Allah, tetapi dari bangsa asing, pemimpin diktator atau oleh hawa nafsu mereka sendiri (Dr. Ing. Fahmi Amhar, 2001).
Jika Indonesia disesuaikan dengan definisi-definisi tersebut, nyata sekali negeri ini belum merdeka. Sebaliknya, jika kemerdekaan hanya dimaknai bebas dari penjajahan fisik, betul negeri ini telah merdeka. Namun, harus diingat, penjajahan hakikatnya adalah penguasaan dan pengaruh atas suatu negeri untuk bisa mengeksploitasi manusianya, mengeruk kekayaannya dan merampas sumber dayanya. Jadi penjajahan tidak melulu bersifat fisik/militer. Ada bentuk-bentuk panjajahan non-fisik seperti penjajahan secara pemikiran, politik, ekonomi dan sebagainya. Penjajahan non-fisik ini jelas menguasai negeri ini. Panjajahan ini jauh lebih berbahaya. Pasalnya, penjajahan seperti ini mampu menjadikan bangsa terjajah secara tidak sadar mengadopsi konsepsi, sistem dan ideologi buatan penjajah.
Setelah merdeka secara fisik, negeri ini, misalnya, secara tidak sadar malah mengadopsi sistem politik warisan penjajah, yaitu demokrasi, yang lahir dari ideologi Kapitalisme. Demokrasi dijadikan alat oleh pihak asing (penjajah) untuk merecoki negeri ini. Contohnya tampak pada aspek fundamental, yaitu penyusunan konstitusi dan perundang-undangan. Amandemen konstitusi yang lalu terlihat banyak dipengaruhi (baca: didikte) oleh pihak asing/penjajah. Akibatnya, kostitusi negeri ini makin bercorak liberal. Hal yang sama juga terjadi pada penyusunan UU (undang-undang). Pihak asing berhasil mencampuri pembuatan/pengesahan sejumlah undang-undang, bahkan dari mulai pembuatan draft (rancangannya)-nya. Akibatnya sejumlah UU makin kapitalistik dan sangat liberal, yang ujung-jungnya lebih memihak asing/penjajah. Sebut saja UU Migas (UU No. 22 Th. 2001), UU BUMN (UU No. 19 Th. 2003), UU PMA (UU No. 25 Th. 2007), UU SDA (UU No. 7 Th. 2004), UU Kelistrikan (UU No. 20 Th. 2002), dan lainnya.
Di bidang pertahanan dan keamanan, hingga saat ini alat pertahanan masih bergantung pada pihak asing. Berbagai kebijakan keamanan pun banyak dipengaruhi pihak asing, terutama negara besar. Ambil contoh, kebijakan dalam kasus terorisme.
Adapun ketidakmandirian negeri ini paling jelas tampak pada aspek ekonominya. Dengan memilih sistem ekonomi kapitalisme, negeri ini masih berada dalam cengkeraman asing/penjajah, yang notabene negara-negara kapitalis besar seperti AS. Karena hal itu, negeri ini pun akhirnya terjebak dalam jerat utang dan harus menjadi pasien IMF. Akibat langsung yang dirasakan rakyat negeri ini adalah penghapusan subsidi. Kebutuhan rakyat pun menjadi mahal tak terjangkau. Demi memenuhi amanat liberalisasi investasi, kekayaan alam (minyak dan barang tambang) diserahkan kepada pihak asing. Sesuai mandat privatisasi, BUMN-BUMN pun beralih ke tangan swasta, khususnya asing. Padahal, BUMN jika dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber pemasukan sangat besar bagi negara untuk menjalankan pembangunan, memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Namun karena privatisai, negara kehilangan sumber pemasukan. Beban pembiayaan negara pun dibebankan kepeda rakyat. Misalnya melalui pajak dan pungutan lain yang beragam dan bertambah besar. Beban yang harus ditangung rakyatpun kian hari kian berat.
Setelah 64 tahun merdeka, perekonomian Indonesia justru makin dicengkeram asing, dan rakyatlah yang harus menanggung bebannya. Kemiskinan telah menyebabkan jutaan anak mengalami kekurangan gizi. Angka kriminalitas pun meningkat tajam, begitu juga dengan angka kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian pun melonjak. Bahkan semakin banyak perempuan yang akhirnya terjerumus dalam lembah pelacuran. Tentu masih banyak dampak buruk lainnya akibat penjajahan non-fisik yang masih mencengkeram negeri ini.
Pemaparan di atas mungkin telah bisa menjawab dua pertanyaan pokok di awal, bahwa Indonesia belum meraih kemerdekaan yang sesungguhnya, atau dengan kata lain hanya sebatas meraih kemerdekaan semu. Nah, ada satu pertanyaan lagi yang harus kita jawab dalam rangka untuk melengkapi pembahasan sebelumnya yaitu bagaimana agar kemerdekaan hakiki benar-benar dapat diwujudkan?
Kemerdekaan hakiki adalah terbebasnya manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan pada Tuhannya manusia (Allah SWT). Hal ini tidak bisa diwujudkan selama sistem/aturan yang digunakan adalah sistem/aturan buatan manusia, terutama yang bersumber dari ideologi kapitalisme seperti sistem demokrasi. Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan penerapan sistem yang berasal dari Allah Yang Maha Adil, pencipta manusia, alam dan seisinya sebagai wujud penghambaan kepada-Nya. Sistem itu tiada lain adalah sistem Islam.
Walhasil sistem Islamlah yang akan memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan, menebarkan kebaikan, rahmat, dan hidayah, mewujudkan kesejahteraan dan kehidupan, merealisaksikan keadilan, melenyapkan kezaliman yang membelenggu manusia, dan menyelamatkan manusia dari kegelapan sistem buatan manusia.
Jelas yang diperlukan oleh negeri dan bangsa ini adalah sistem yang baik sekaligus subyek (pelaku/pelaksana) yang baik pula. Itulah sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah, yang dijalankan oleh Muslim yang berkepribadian Islami. Dengan itu kemerdekaan hakiki, termasuk kemandirian dan kesejahteraan, akan bisa terwujud dan dinikmati oleh semua, Muslim dan non-Muslim. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar